Waktu trip (nyempil) ke Jogja kemarin, diusahakan sekalian bersua teman-teman yang ada di Jogja π Baik yang sudah pernah bersua sebelumnya, atau yang hanya chit chat akrab aja di dunia maya π
Intinya kami ingin mempererat silahturahmi, menyicil pertemanan kami di Jogja, jadi kalau sudah jodohnya nanti kami boyongan ke Jogja, kami sudah semakin dekat dengan teman-teman di Jogja, Amin ππ
Salah satunya adalah pasangan duet maut ini, Sulis & Hafez dari Impian Studio π Aku & Sulis satu kampus, satu angkatan, satu audisi juga pas mau masuk UKM Teater, dia masuk, aku nggak, karena punya asma, haha π Hafez kenal dari lingkaran pertemanan di Jogja, biasa lah, dunia itu kecil, apalagi Jogja, orang-orangnya muternya itu-itu aja π
Aku cukup memperhatikan perkembangan karya mereka berdua, termasuk bayi mereka bernama Impian Studio, tempat keduanya berkarya membuat Buku Pop Up, yang daro konsep, desain pop-up, merakit & mencetaknya sendiri, salut πππ
Kami main ke Studionya dari sore sampai malam, silahturahmi, belajar, bertukar cerita, juga ngacak-ngacak studionya tentunya π Lalu aku ingat, dulu aku pernah minta Sulis buat jadi nara sumber buat postingan blog aku, tentang temen-temen yang mencetak karya buku nya sendiri, salah satunya Impian Studio, tapi blom juga di posting, haha, maaf-maaf π
π Jadi ini dia chit-chat ku dengan Impian Studio π Spoiler: Ini akan jadi post yang sangat panjang, tapi worthed to read ππ
Apa cerita awalnya kok kalian mbikin Impian Studio (self publish)? Karena nggak sreg sama penerbit besar? Ato emang pengen mandiri aja ato piye?
Awalnya tahun 2011, aku dan Hafez bertemu dan kenal sebagai sesama seniman. Dia seniman rupa dengan media kertas baik lukis, patung, papertoys dan sudah menggeluti Pop Up dari tahun 2004. Kami menjadi cocok, aku suka menulis dan ingin membuat buku, dia suka buat Pop Up dan ilustrasi. Lalu kami sepakat membuat studio berkarya, dilanjutkan dengan kesepakatan pacaran dan menikah. Hahahaha…ini sebuah bentuk fakta kecocokan yang lain.
Tahun 2011 studio kami dirikan, dengan nama Impian Studio. Karena waktu itu modal kami memang cuma impian-impian kami. Sebetulnya waktu itu kami belum berniat mendirikan penerbitan. Karena Hafez masih berfokus membuat karya-karya Pop Up dan ilustrasinya, saya masih turut serta dalam pembuatan konsep dan ide. Saya sendiri belum bisa full berperan, karena masih harus bekerja di tempat lain, lalu Hafez juga masih harus banyak berfokus pada menerima pesanan desain-desain Pop Up untuk buku tahunan. Bahkan dia menjuluki dirinya sendiri “seniman buku tahunan’. Ya pada titik itu kami harus bersahabat dengan realita, bahwa kami butuh makan, butuh membiayai proses kami berkarya, kami masih pengantin baru, dll. Dan kami masih harus berjuang keras mengenalkan Pop Up itu sendiri kepada masyarakat, dengan workshop di sekolah-sekolah.
Sampai suatu hari, aku berusaha membawa karya kami yang sudah jadi (buku Pop Up dan bukan Pop Up) ke beberapa penerbit. Mulai dari penerbit-penerbit besar sampai penerbit biasa. Alhasil semua menolak. Alasannya macam-macam. Ada yang nggak berani karena untuk buku Pop Up biaya produksinya sangat besar, ada yang bilang takut nggak laku, ada yang bilang karya kami kurang sesuai dengan karakter penerbitan mereka, ada yang tanpa alasan. Awalnya saya merasa heran. Karena aku sangat yakin bahwa karya kami ini menarik dan “kemedol”. Hahaha…tapi ya sudahlah bagi saya itu adalah hak dan kewenangan penerbit itu sendiri.
Akhirnya suatu hari saya memutuskan untuk keluar saja dari pekerjaan supaya bisa focus mengurus studio. Baik, saya keluar. Akan tetapi, tetap kami dihadapkan pada realita bahwa kami butuh uang untuk operasional semuanya. Aku memutuskan untuk dagang Lego. Hahaha…ini memang agak aneh. Oke, jualan lego berjalan, kami mendapatkan kelancaran dan keuntungan yang luar biasa dari bisnis ini. Jujur saja uang mengalir deras. Alhasil selama 1 tahun kami off, tidak berkarya apapun di studio. Karena bisnis lego ternyata justru menguras tenaga dan waktu.
Di akhir tahun 2014, kami evaluasi berdua di Balkon sambil minum kopi. Dengan satu pertanyaan, “Kenapa sekarang kita dipanggil bakul LEGO, bukan lagi seniman Pop Up atau bakul Pop UP?”. Pertanyaan itu membuat kami melihat bersama apa yang sudah kami lakukan selama ini. Dan apa keinginan ke depan. Keputusannya adalah kami stop menjual lego lagi. Paginya semua lego kami kumpulkan, kami lelang!
Di tahun 2015, akhirnya kami bertekad untuk mencoba membuat penerbitan sendiri. Kami namai Impian Publishing. Kami putuskan untuk focus hanya untuk buku Pop Up. Karena kami pikir, kami nggak akan bisa menerbitkan buku kalau hanya menunggu ada penerbitan yang mau menerbitkan karya kami. Yak, buku pertama yang terbitkan adalah Big Animals. Awalnya kami berdua yang rakit sendiri, binding sendiri, cover sendiri, kemas sendiri, jual sendiri. Kami cetak 500 eksemplar waktu itu. Awal-awal laris. Yang membeli sebagian besar adalah kawan-kawan sendiri. Dengan cara berbisnis alakadarnya, sing penting bathi (untung). Sampai terjual 200 eksemplar, lalu berhenti alias nggak laku lagi. Aku mulai panik. Aku tawarkan kemana-mana sulit laku. Kemudian kami analisa. Ternyata sebabnya adalah buku Pop Up itu sendiri masih belum familiar di Indonesia, dan menurut kami target pembeli kami saat itu kurang tepat.
Lalu kami berhenti lagi. Kami focus pada desain buku tahunan lagi. Karya nggak bikin lagi. Tapi kami berusaha memperbanyak kegiatan workshop Pop Up dan publikasi di social media. Kami fikir, ya sudah nggak papa, kita berjuang dulu mengenalkan Pop Up. Bahkan kami mencoba membuat souvenir Pop Up, kami pertaruhkan semua tabungan sisa kami untuk modal. Ternyata gagal. Kami habis habisan. Ada 4 tim kerja yang terpaksa kami lepaskan (berhentikan), karena kami sudah tidak bisa membayar mereka.
Dan di tahun 2016, saat mau puasa, saat uang di tangan hanya 300.000, dan tidak tahu lagi harus dapat uang dari mana, kami memutuskan untuk menggunakan membuat karya dan 1 dummy buku, sisanya untuk makan beberapa hari. Begitu buku jadi, aku mencoba menawarkan dengan system open PO. Kami sudah pasrah. Kami hanya berfikir, yang penting kami sudah berusaha. Kalo ini gagal lagi, ya sudah kami ke depan akan putar haluan, akan mencari kerja atau apa lah.
Hasilnya tak terduga. Ada banyak yang pesan. Baik teman-teman sendiri, teman FB, maupun follower di IG. Dan kami pernah dihubungi oleh Rabbitholeid untuk ikut Rabu Berbagi, dan buku kami akan dipromisikan di IG nya. Akhirnya dari itu kami mulai berjalan. Kami bisa rekrut 1 tim lagi. Kami bertiga mulai menerima pesanan, seminggu hanya bisa 30 eksemplar. Karena semua kami kerjakan manual. Disini adalah awal kebangkitan kami lagi.
Intinya, kami membuat penerbitan sendiri, karena kami adalah creator yang tertolak di penerbitan orang lain. Hahahaha…
Kenapa Pop Up? Emang khusus Pop Up aja kah? Ato nantinya akan ada buku-buku jenis lain?
Kalau Impian Studio dan Impian Publishing akhirnya kami fokuskan di Pop Up. Bagi kami, jika kami ingin mudah diingat , maka sebaiknya memiliki 1 spesialisasi yang focus. Nah, di tahun 2017 bulan Juni ini, kami mulai untuk membuat buku selain Pop Up. Tapi kami juga putuskan untuk membuatkan penerbitan (nama) yang baru, yaitu Mili Publishing. Karya bukunya bisa berbentuk boardbook, buku biasa, flip flap, dll.
Siapa di balik Impian Studio? Bukan lagi kamu berdua kan selama perkembangannya sampai sekarang ini? Cerita dong dong perkembangannya!
Saya akan mengawali dari proses produksi buku Pop Up ya. Hal yang paling sulit dalam rangkaian pembuatan buku Pop Up adalah membentuk tim produksinya. Itu jika ingin produksi massal. Kalau tim berkaryanya tentu relative lebih mudah. Para seniman Pop Up dunia, buku bukunya bisa diterbitkan oleh penerbit di negaranya, dan penerbitan itu harus melakukan produksinya di China. Selama ini Negara China lah yang memiliki finishing buku Pop Up terbesar. Mungkin sisi itu juga yang membuat penerbit di Indonesia ketakutan untuk menerbitkan buku Pop Up. Kami beberapa kali membuat tim kerja untuk produksi di Jogja, gagal terus. Entah kenapa, etos kerjanya menurut kami rendah. Padahal banyak juga yang nganggur.
Suatu hari kami curhat kepada adek-adek kami di temangung. Karena ternyata minat masyarakat kepada buku kami semakin bertambah, dan tenaga kami sudah oleng. Adek kami si Kembar (Aka&Oda) menyambut baik curhatan kami, dengan menyarankan dibawa ke rumah Parakan Temanggung. Mereka akan menawarkan kepada warga sekitar, apakah ada yang mau dengan pekerjaan ini. Karena adek kami melihat kenyataan, bahwa Parakan sangat minim pekerjaan, banyak pengangguran, tapi masih muda-muda. Alhasil ada beberapa orang yang mau. Ah, kami senang. Lalu kami adakan pelatihan, dan berjalanlah.
Begitu proses berajalan semakin menunjukkan peningkatan, maka kami mulai terasa kalangkabut di manajemen. Artinya kami juga harus segera melakukan penataan. Kemudian kami ingat sahabat dan senior kami, mas Tri Prasetyo. Beliau adalah direktur salah satu penerbitan cabang Jogja. Kami menghubunginya, dan mengunjunginya untuk “ngangsu kawruh” (meminta ilmu). Dari beliaulah kami diajari bagaimana mengelola bisnis penerbitan skala besar, walaupun kami tetap indie.
Hari ini kami memiliki rumah produksi di Parakan Temanggung. Dikelola oleh Aka, Oda, dan Aslah (tim keuangan). Merekalah yang mengurusi 30 lebih tim rakit beserta tim binding, covering, dan packaging. BUku yang dikirim ke Jogja adalah buku yang sudah siap untuk dikirim. Dengan system kerja yang sangat mengikuti alur hidup masyarakat Parakan. Yaitu para tim rakit mengambil materi ke kantor, lalu dibawa pulang , dikerjakan di rumah, dan tiap hari setor. Cara kami membayar mereka juga berdasar hasil yang mereka kerjakan, yaitu dihitung tiap lembarnya. Karena mereka tidak bisa dan tidak mau jika harus bekerja di tempat kami, misalnya kami buat semacam pabrik begitu. Hehehe…
Kemudian di Jogja adalah kantor administrasi penjualan buku, dan studio berkarya. Ada aku (sulis) sebagai tim karya dan manajer Publishing , Hafez sebagai tim karya dan direktur Produksi, Cici sebagai admin dan operasional, Tita sebagai admin dan tim karya, dan Beni sebagai tim keuangan. Kami berlima ini juga tim yang kompak dan mengagumkan. Karena mau kami ajak bekerjasama, walaupun mereka sadar saat ini Impian Studio dan Impian Publishing masih di tahap merintis pelan-pelan.
Selain buku-buku Pop Up yang sudah terbit, rencana ke depan bikin buku apa lagi kah kalian?
Untuk Impian Publishing, sebentar lagi kami akan lounching buku Pop Up Rumah adat Indonesia dan topeng rasa & ekspresi. Buku rumah adat ini adalah karya Hafez dari tahun 2011-2015 baru selesai. Itu yang terdekat dan sudah siap. Kalau yang di list calon buku yang akan di buat sih sudah banyak. Untuk Mili Publishing kami akan lounching boardbook HUJAN dan Kepompong. Habis lebaran akan kami publish.
Oia, karena ini obrolan di Tahun 2017, jadi rencana-rencana Buku yang mau diterbitin sudah pada terbit semua loh teman π Studionya juga bisa kalian kunjungi, disana apa perpustakaan Buku Pop Up koleksi mereka yang bisa kalian baca dan nikmati. Biasanya kalau pas ada jadwal workshop kalian bisa sekalian belajar bikin Pop Up disana π Koleksi Buku-buku Pop Up Impian Studio bisa kalian lihat di aku IG mereka @impianstudio π
Panjang ya...tapi seneng bacanya, karena berasa seperti ikut dipuk-puk semangatnya juga kalau dengar kisah-kisah perjuangan temen-temen dalam berkarya, ya nggak ππ
Naaaaah...kemarin itu pas bersua juga sebenernya mau menguatkan agenda kami, kami itu Impian Studio dan Cemprut π Mau mbikin apa kitaaaa ??? Tunggu yaaaa ππBismillah, doakan aja jalan kolaborasi nanti dilancarkan ya temaaans πππ
No comments:
Post a Comment